cerpen : kidung cinta fania
KIDUNG
CINTA FANIA
22 september 2012
Sayup-sayup
ku dengar rintik hujan malam ini yang semakin mengusik relung hati, hujanpun
seakan tahu apa yang aku rasakan malam ini. Empat hari menuju 26 september,
semakin berat rasanya harus melewati hari itu, dimana dia akan terbang ke negri
unta. Ya Egypt, sebuah negara yang akan memberikan ilmu dan sejarah baru bagi
hidupnya.
Al Azhar Cairo University
Nama itu yang akan selalu membayang-bayangi tidurku mulai
malam ini dan mungkin sampai seterusnya, bukan karena apa hanya tidak ingin
berpisah darinya. Seorang lelaki yang membuat hidupku lebih berarti. Tiga tahun
lalu aku bertemu dengannya, seorang lelaki yang sangat menyebalkan namun penuh
keistimewaan, lelaki yang dahulu sangat tidak aku sukai, namun entah mengapa semua
benar-benar berbalik 180 derajat. Berawal dari pertemuan yang lucu sekaligus
aneh namun berkelanjutan sampai saat ini.
Aku fania seorang mahasiswi disebuah Institut Islam Negri
di Cirebon, dan lelaki itu adalah farhan yang sekarang menjadi seorang mahasiswa
Al Azhar Cairo University.
“jelek, aku tanggal 26 september berangkat ke mesir, tapi
ngga tau kenapa rasanya aku males baget ya, apa aku ngga’ usah berangkat aja
ya”. Keluh farhan.
“jangan gitu han, kamu harus ingat impian kamu dulu buat
belajar disana, masa’ gitu aja kamu sia-siain sedangkan impian itu sudah ada
didepan mata kamu. Aku aja pengin baget nuntut ilmu disana andaikan aku bisa.
Kamu ambil yah, dan kamu harus tetap berangkat”. Semangatku padanya.
“makasih banget ya sayang, kamu selalu dukung aku”.
“iya, itu pasti han. Jangan pernah membuang kesempatan
yang sudah ada didepan mata. Karena kesempatan ngga’ mungkin datang dua kali”.
Kataku sambil tersenyum.
Kami hanya terdiam setelah itu, entah perasaan apa ini,
antara sakit dan juga bahagia. Ada rasa tak rela karena harus berpisah, namun juga
terlalu egois jika aku harus menahan impiannya untuk menuntut ilmu disana.
Entahlah apa yang harus ku lakukan kini.
“fania, aku minjem buku dan pennya ya?”. Katanya
membuyarkan lamunanku.
“iya”. Jawabku sambil menyodorkan buku dan pen milikku.
“jelek, baca ya...”. pintanya sambil tersenyum.
“KAMU MAU ENGGA NIKAH MA AKU”. Aku sedikit terperanjat
membaca tulisan yang ada didepanku, antara percaya dan tidak tentunya, namun
yang tersisa hanya rasa bahagia yang teramat sangat namun tak mungkin lepas
dari rasa sedih yang sedikit menggangguku.
“jelek, ini beneran?”
“iya fania, aku Cuma ngga mau kamu diambil sama orang,
aku ingin setelah aku lulus nanti kita menikah dan hidup bareng selamanya”.
Jelasnya meyakinkan.
“tapi apakah kita bisa ngejalanin semuanya han, sedangkan
jarak misahin kita bukan hanya itu kita bahkan terhalang ruang dan waktu”.
Selidikku ragu.
“kita harus berani berkomitmen fan, meski nanti kita ngga
saling berhubungan, tapi aku yakin hati kita akan tetap tertaut dengan doa-doa
kita nantinya. Kamu harus yakin kalau kita bisa menjalani semua ini
bersama-sama”.
“he-em”. Balasku singkat namun meyakinkannya.
Embun pagi ini sedikit memberikan aroma sejuk dihati
meskipun tak pernah kupungkiri semua rasa berkecamuk dalam hatiku. Tidak terasa
detik demi detik berlalu, dan terasa cepat ku lalui hari demi hari ini, kini
tiba saatnya dimana dia harus pergi untuk meninggalkanku ke negri unta.
Disepertiga malamku namanya selalu kusebut dalam lantunan doaku, hanya do’a
yang dapat aku berikan untuknya sebagai penyejuk hatiku dan hatinya untuk
selalu menjaga dalam do’a.
Bandara Soekarno Hatta, 13.50 WIB
Tutt ,, tuttt ,,, ada telephon
...
“assalamu’alaikum fania”
“wa’alaikum salam. iya han,
kamu udah mau berangkat ya?” selidikku.
“bentar lagi pesawatnya take on
fan, aku pamit ya, kamu jaga diri baik-baik disana. Inget aku akan selalu ada
buat kamu meski hanya lewat doa-doa yang kita panjatkan”.
Hanya rasa sesak yang kurasakan saat ini, entah apa yang
harus aku katakan kepadanya agar aku terlihat tegar, aku hanya tak ingin
membuatnya khawatir akan keaadaanku disini. “tuhan,,, apa yang harus aku
lakukan” batinku dalam hati.
“fania, kamu ngga kenapa-kenapa
kan?” tanyanya memastikan.
“eh,, eng,, engga han. Ya udah
kamu juga jaga diri baik-baik ya, inget jangan telat makan dan kecapean. Aku sayang
baget sama kamu”.
“aku juga sayang banget sama
kamu fan, jangan sedih ya fan tetap
semangat.aku pasti akan kembali buat kamu. Udah dulu ya sayang”.
“iya han”.
Tutttt,, tuttt ,,, tutttt
Seakan terhantam petir yang secara singkat
memporak-porandakan semua isi hatiku, hanya itu yang tersisa dalam sunyinya
siang ini, hanya ditemani handphone yang ada dalam genggamanku, yang masih
terpaku antara percaya dan tidak dengan semua kenyataan ini.
Namun yang pasti impian itu lebih berharga dari
segalanya, aku hanya bisa melepaskan farhan dengan do’a yang akan selalu
kupanjatkan tiap hari untuknya. Ya lewat buliran air mata ini pula aku
ikhlaskan dia pergi meraih impiannya di negri unta.
Hari demi hari terlewati begitu cepat tak terasa sudah
hamir dua tahun aku berpisah dengannya, bahkan tak ada sekalipun komunikasi
yang terjalin antara kami. Malam ini yang hanya berteman dengan sepi ku mencoba
menerawang jauh ke angkasa, menatap bintang-bintang yang indah dilangit.
“huffttt ,,,,kita berada di satu langit, hanya saja ruang dan waktu kita
berpijak sangatlah jauh”. Gumamku sedikit berat.
Sebuah janji untuk tidak saling menyakiti dan saling
percaya ditambah dengan do’a yang kami panjatkan menjadi penguat hubungan yang
terhalang ruang dan waktu, hanya mampu memasrahkan semua kepada pencipta cinta
dan penggenggam hatiku dan hatinya.
4 Tahun
Kemudian
Suara
bising angkutan kota yang selalu mengusik telinga, ku rasakan lagi pagi ini,
berjubel-jubel untuk mendapatkan kursi penumpang dan sampai ditempat tujuan
dengan selamat, itulah rutinitas yang tak pernah terlewati untukku setiap
harinya. Demi mendapatkan sesuap ilmu yang bermanfaat. Ini adalah tahun
keempatku berada di bangku perkuliahan, dimana aku telah disibukkan PPL dan
penulisan skripsi, sangat melelahkan memang namun aku ingin cepat mendapatkan
gelar Sarjana Muda (S1) lebih awal dari sahabat-sahabatku.
“assalamu’alaikum
ukhti”. Sapa seorang lelaki tampan yang sangat aku kenal, dialah ketua jurnalis
dikampusku yang aku ikut berkutat disana.
“wa’alaikum
salam, e.. ada apa?”. Tanyaku penasaran.
“tidak apa-apa ukhti, saya hanya ingin
berbicara sama anti, apa anti ada waktu beberapa menit aja?”.
“em,, tentu,
memangnya antum mau menanyakan apa?, apa ada hubungannya dengan organisasi yang
kita bina selama ini?”.
“bukan ukhti, maaf
sebelumnya. Mungkin saya terlalu lancang, tapi saya sudah lama ingin mengatakan
ini kepada anti”.
DEG!!. Akhirnya yang aku takutkan selama ini benar
terjadi, ternyata selama ini ardan diam-diam menyukai aku. Ini benar-benar
diluar batas kemampuanku, selama ini aku selalu berlaku apa adanya didepannya
dan tidak banyak tingkah, namun mungkin tanpa aku sadari sifatku yang pendiam
malah membuatnya mengagumiku.
“memangnya apa akhi, kok kelihatannya serius begitu?”.
Tanyaku pura-pura tidak mengerti apa yang akan dikatakannya.
“sebenarnya selama ini saya mencintai ukhti, saya
menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan ini ke ukhti karena dirasa sekarang
kita sebentar lagi akan luus dari bangku kuliah, makanya saya memberanikan diri
mengatakannya”. Jelasnya.
Aku hanya bisa terdiam membisu, inilah yang selalu aku
takutkan dari dulu dan aku orang yang tak mampu menyakiti perasaan seseorang,
namun apapun yang terjadi aku harus memutuskan untuk tetap menjaga hati untuk
seseorang yang telah setia terhadapku, walaupun tak dapat aku pungkiri selama
ini akupun mengagumi kepribadian ardan yang sederhana dan tidak seperti
laki-laki lain seumurannya.
“bagaimana ukti?, saya membutuhkan jawaban sekarang”.
Tegasnya membuyarkan lamunanku.
“ eng ,, ma,, maaf akhi, sepertinya saya tidak bisa
menerima akhi, karena saya sudah terikat janji dengan seseorang yang sekarang
sedang menuntut ilmu di Al Azhar. Saya tidak mungkin menghianati janji yang
saya buat selama ini”. Jelasku gagu.
“oh,, tidak apa-apa ukhti, saya bisa menerima semuanya
dengan lapang, karena sebelum saya mengatakan ini kepada ukhti saya sudah siap
dengan segala resikonya”. Jawabnya yang terlihat sedikit kecewa.
“terimakasih akhi mau mengerti keadaan saya, namun saya
berharap akhi tidak memutus tali silaturahim kita”.
“tentu saja tidak ukhti, baiklah kalau begitu saya pamit
ke ruang dosen dulu. Assalamu’alaikum”.
“wa’alaikum salam”. Balasku sambil menatap kepergian
lelaki itu.
Memilih setia itu mungkin yang terbaik diantara yang
terbaik yang harus aku lakukan, entah apakah disana dia selalu menjaga hatinya
untukku ataupun tidak, namun satu hal yang pasti aku akan selalu menjaga janji
yang pernah aku buat sebelumya untuk selalu menjaga hati. Karena bagiku jarak
bukanlah menjadi penghalang untuk sebuah hubungan.
The End
Comments
Post a Comment