Karena Sekenario-Nya Lebi Indah

Karena Sekenario-Nya Lebih Indah

            Suara denting jarum jam memenuhi ruangan kamar Farah, waktu telah menunjukkan pukul 23:00 malam, namun matanya masih enggan untuk terpejam. Fikirannya terus berkecamuk, Dia terus berfikir apakah ia kurang bersyukur pada Tuhan, ataukah dia lalai pada kewajibannya. Cobaan demi cobaan yang Farah rasakan serasa tidak ada hentinya, ia ingin menjerit, marah dan mengadu namun pada siapa ia bisa meluapkan semuanya, hanya Tuhan yang tahu apa yang ia rasakan, hanya Tuhan yang akan mengerti dan memberikan solusi yang terbaik, mungkin ia hanya harus sedikit bersabar atas segala cobaan ini.
            Sebuah pernikahan yang terlampau ia impikan, sebuah pernikahan yang akan segera berlangsung, sebuah ijab qabul yang tinggal di ikrarkan tiba-tiba terhenti begitu saja. Lelaki yang amat ia sayang dan cintai harus meregang nyawa ketika perjalanan menuju ke pelaminan. Dunia pun seakan runtuh seketika, ketika Farah mengetahui calon imam yang ia impikan telah menghembuskan nafas terakhirnya. Tidak mudah baginya menerima semua kenyataan itu, kehancuran yang ia rasakan masih saja terasa sampai detik ini dua bulan sehabis kejadian itu. Farah yang awalnya riang dan penuh energik kini lebih suka melamun dan menyendiri. Entah, mungkin batinnya masih begitu tergoncang menerima semua kenyataan pahit yang ia hadapi.
“Farah, Sayang. Makan dulu Nak” Pinta perempuan renta yang begitu menyayanginya.
“Ia Ma, sebentar lagi Farah turun”
            Hidangan demi hidangan yang tersaji dimeja makan tak satupun disentuhnya, matanya kosong, fikirannya pun entah dimana. Lelaki dan perempuan tua dihadapannya hanya mampu menatap anak semata wayangnya itu dengan penuh kesedihan, menyayangkan semua yang telah terjadi pada putri semata wayangnya itu.
“Nak, makan dulu ya. Jangan terus meratapi kesedihan seperti itu, kamu juga harus menjaga kesehatanmu” Pinta lelaki tua dihadapannya.
“Iya Pa, nanti Farah juga makan” Jawab Farah lunglai.
            Entah kemana perempuan cantik yang penuh semangat itu kini pergi, yang ada saat ini hanyalah seorang perempuan kurus dengan kerudung acak-acakan yang lemas tak berdaya, bahkan sorot matanya yang dahulu begitu indah dan bersemangat kini berubah menjadi redup dan tak berdaya.
            Hanya sesuap nasi yang mampir ke mulut Farah, ia terdiam dan pergi begitu saja mninggalkan meja makan tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya. Perempuan yang mulai menua dihadapannya hanya mampu menitikkan air mata, melihat putrinya kini layaknya seperti mayat hidup, hidup tapi mati.
“Pa, kita harus bagaimana?, sampai sekarang pun Farah sepertinya belum bisa menerima apa yang terjadi padanya” Terang Fatmawati, ibu Farah.
“Tenanglah sedikit Ma, Papa yakin Farah akan mampu bangkit lagi. Papa akan terus menasehatinya, agar ia lebih bisa menerima kenyataan ini dan bersabar”
“Tapi Pa, apa mungkin semuanya akan berhasil?” Tanya perempuan itu meyakinkan
“Bismillah saja Ma, insyaallah semuanya akan baik-baik saja dan Farah dapat kembali seperti dulu” Jelasnya.
“Amin ya Rabbal ‘alamin”
            Allah tidak akan pernah melupakan hambanya, terlebih hamba yang selalu mentaati perintah dan menjauhi larangan-Nya. Farah merupakan seorang perempuan cantik, cerdas lagi taat ibadahnya, dan tak mungkin Allah akan setega itu memberikan cobaan padanya diluar batas kemampuan Farah. Allah pasti memiliki sekenario yang lebih indah untuk Farah, karena Allah menyayangi dan  mencintai Farah. Hanya saja Farah belum mengerti akan semua kenyataan yang menimpanya saat ini.
            Kini perempuan itu hanya mampu terdiam, menatap dinding-dinding kamar yang beku. Entah apa yang sedang difikirkannya, mungkin ia ingin menjerit namun bibirnya serasa kaku tak ada satupun kata yang mampu keluar dari bibirnya. Teman dan sanak saudara silih berganti memberikan nasihat dan semangat padanya, hanya saja semangat hidupnya belum bisa kembali seperti sedia kala, senyumnya memang mulai mengembang lagi, tapi tatapannya masih terasa kosong. Sedikit demi sedikit tugas-tugas kuliahnya mulai terbengkalai. Farah merupakan mahasiswi semester akhir yang sedang menyusun tugas akhir berupa skripsi. Pada awalnya ia akan menyelesaiakan skripsinya setelah resepsi pernikahan yang akan dibantu oleh suami impiannya itu yang merupakan kakak tingkat Farah di salah satu Universitas Islam di Jakarta. Namun semuanya sirna, manusia hanyalah bisa merencanakan namun pada akhinya semua harus diserahkan pada Yang Maha Kuasa.
“Sayang, Papa boleh masuk” Pintanya dengan lembut.
“Hmm, iya Pa. Masuk aja, pintunya engga di kuci” Balas Farah.
“Nak, jangan terus mengurung diri dikamar, cobalah keluar, menghirup udara luar yang begitu menyegarkan. Tidakkah kamu rindu dengan suasana luar, kampus dan teman-temanmu?” Tanya lelaki renta didepannya.
“Itu begitu sulit Pa. Aku ingin, tapi aku belum bisa. Aku sangat merindukan teman-temanku, aku juga ingin pergi ke kampus lagi, tapi aku tidak bisa membayangkan Pa, apa aku akan kuat ketika datang ke tempat itu dan melewati jalan-jalan yang dulu pernah dan sering aku lewati bersama almarhum” Jelas Farah menghembuskan nafasnya perlahan.
            Lelaki renta dihadapannya hanya bisa tersenyum, ia sangat mengerti apa yang sedang dirasakan putri semata wayangnya itu. Bagaimana rasa sakit yang ia rasakan, hingga ia memutuskan untuk menyendiri setiap waktu demi mengubur jauh-jauh kenangan indah yang pernah ia lalui bersama calon suaminya itu. Namun sebagai seorang Ayah, ia tak mungkin hanya bisa diam melihat putrinya terus meratap seperti itu.
“Iya Nak, Ayah sangat tahu apa yang kamu rasakan saat ini, meskipun Ayah bukan kamu, namun kamu anak Ayah. Dengarkan Ayah Farah, keterpurukan yang kamu rasakan banyak orang yang merasakannya juga. Tapi kamu harus bisa bangkit dari keterpurukan itu sendiri, apa gunanya Nak kamu terus menyendiri, bersedih dan tak mampu bangkit, sekuat apapun kamu terus bersediah Farhan tidak akan pernah kembali ke dunia Nak. Ayah ingin kamu mengerti, Ayah ingin kamu bisa bangkit lagi seperti sedia kala”
“Tapi Pa, ini begitu menyakitkan. Aku masih belum bisa menerimanya Pa.”
“Nak, cobaan yang kamu rasakan ini karena Allah begitu menyayangi kamu dan Farhan. Meski kalian tak bisa bersatu didunia, setidaknya kalian dapat bersatu di syurga-Nya nanti, Apa kau tidak kasihan pada Farhan, jika kau terus saja seperti ini?” Tanya Ayahnya perlahan.
“Aku kasihan Pa, aku juga tak ingin melihat Mas Farhan sedih melihat aku seperti ini, tapi untuk bangkit juga teramat sulit”
“Bukan sulit Nak, hanya saja kamu belum mencobanya. Allah tidak pernah melupakan hamba-Nya Nak. Derajatmu kini sedang diangkat oleh Allah, jika kamu mampu melewati cobaan ini dengan tabah dan sabar. Jadi Ayah dan Ibu minta padamu jadilah Farah yang dulu, teruslah mendekatkan diri pada-Nya, karena Dialah penulis sekenario terbaik. Dan kamu harus tahu dan mengerti itu Nak”.
“Iya Pa, Farah ngerti” Tukasnya sedikit ragu.
            Dalam diam Farah mencoba  merenungi apa yang telah dikatakan oleh Ayahnya tadi. Ia begitu menyesal, entah kenapa selama hapir tiga bulanan ini dia seperti orang yang hidup tapi mati, ia hanya menyendiri, terdiam dan tak melakukan apa-apa.
“Benar kata Papa, aku harus bangkit sekarang” Batin Farah dalam hati.
            Masih dengan sedikit ragu Farah mulai bangkit, meski tak bisa seperti sedia kala, dan meski ia harus sedikit tertatih melakukannya. Namun Farah akan tetap berusaha, kini Farah mulai berfikir bahwa apa yang terjadi padanya kala itu merupakan bagian dari potongan-potongan puzzle kehidupan yang harus ia jalani. Entah kejadian itu cobaan atau nikmat Farah masih tak mengerti, namun hari ke hari Farah terus meyakini bahwa Allah punya rencana yang lebih indah untuknya. Dan itu pasti.
“Ma, Pa. Farah berangkat kuliah dulu ya?” Kata Farah dengan penuh semangat.
            Ayah dan ibu Farah hanya terdiam dan saling menatap, mereka sedikit terkejut atas perubahan sikap Farah yang begitu tiba-tiba. Namun tak dapat dipungkiri mereka teramat bahagia karena putri semata wayangnya akhirnya mengerti dan kembali bersemangat.
“Iya Nak, kamu nggak sarapan dulu?, tadi Mama udah masakin masakan kesukaan kamu” Terang Mama
“Ah, nggak Ma. Farah buru-buru takut nanti telat, udah janjian sama dosen pembimbing skripsi biar Farah cepet lulus. Udah bosan Pa, Mah kuliah” Jelas Farah sambil bergurau.
“Iya udah kalo gitu Nak, hati-hati dijalan”
            Kebahagiaan terbesar Orangtua adalah ketika melihat kebahagiaan anaknya, dan itu pula yang kini dirasakan oleh ayah dan ibu Farah. Meski belum sepenuhnya Farah kembali seperti dulu, tapi perubahan sikapnya tadi pagi, menunjukkan bahwa Farah memang bisa bangkit dan kembali seperti dulu dengan keceriaannya.
“Alhamdulillah Pa, Farah sudah kembali bersemangat. Mama bahagia banget”
“Iya Ma, Papa sudah pernah bilang bahwa Farah itu perempuan yang cerdas, jadi dia pasti mengerti apa yang harus dia lakukan. Mungkin saja kemarin Farah maih terpukul dan syok” Jelas lelaki tua itu pada istrinya.
            Ditatapnya setiap sudut kampus yang telah lama Farah tinggalkan, dia tersenyum akhirnya dengan keberaniaannya bangkit ia dapat kembali melihat bangunan tua tempatnya menuntut ilmu dan teman-teman yang telah lama ia abaikan. Meskipun Farah pun tak dapat memungkiri, bahwa hatinya masih ingin menangis kala melihat tempat-tempat yang dulunya bersejarah bagi dia dan Farhan. Namun Farah tak mau kembali lagi meratap, jalan hidupnya masih begitu panjang dan ia benar-benar harus bangkit, itulah keyakinannya.
“Terima kasih ya Allah, kau tidak pernah meninggalkanku disaat aku terpuruk maupun disaat aku bahagia. Dan aku bersyukur Engkau telah memberikanku kesempatan kedua untuk menjalani hidup yang lebih baik lagi. Dan kini aku yakin, Ar-Rahman dan Ar-Rahim-Mu begitu besar. Engkau tak pernah meninggalkanku, Engkau selalu mengingatku meskipun aku sering melalaikan-Mu. Terima kasih ya Allah”
The End









Comments

Popular posts from this blog

Isti'arah Ashliyyah dan Isti'arah Taba'iyyah

Ilmu Ma'ani dan Ruang Lingkupnya

'Adad Tartibi