Qaidah-Qaidah Fiqhiyyah
BAB II
QAIDAH-QAIDAH FIQHIYYAH
A.
Pengertian Al Qawaid al Fiqhiyyah
Al Qawaid secara
etimologi merupakan jama’ dari qaidah (kaidah) yang mempunyai makna al asas
(dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan
sebagai dasar sesuatu atau fondasinya (pokoknya).
Adapun menurut
terminologi, ulama ushul fiqih mempunyai beberapa definisi yang dituliskan
dalam beberapa kitab, salah satunya yaitu dalam kitab Al Ashbah wa An Nadzair :
اَلْاَمْرُ الْكُلِّيُّ الَّذِي يَنْطَبِقُ
عَلَى جُزْئِيَّاتٍ كَثِيْرَةٍ تُفْهَمُ اَحْكَامُهَا مِنْهَا.
“ketentuan universal yang
bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari
perkara tersebut.”
Sedangkan arti
Fiqhiyyah diambil dari kata fiqh yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi
sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat
dengan makna ilmu sebagaimana yang banyak difahami oleh para sahabat, makna
tersebut diambil dari firman Allah SWT dalam surat At Taubah ayat 122 :
(#qßg¤)xÿtGuÏj9...........ÎûÇ`Ïe$!$#ÇÊËËÈ
“Untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama”
Dan dalam Hadis Nabi SAW, yang artinya :
“Barang siapa dikehendaki baik oleh Allah maka akan dimudahkan dalam urusan
agama”.(HR. Bukhari Muslim).
Maka Al Qawaid
al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) secara etimologi adalah dasar-dasar atau
asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih.
Sedangkan Al Qawaid al Fiqhiyyah secara terminologi adalah kaidah-kaidah yang
disimpulkan secara general dari materi fiqih dan kemudian digunakan pula untuk
menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang tidak jelas hukumnya
didalam nash.
B.
Macam-Macam Al Qawaid al fiqhiyyah.
Adapun macam-macam kaidah fiqih, yaitu :
a) Kaidah yang berkaitan dengan fungsi tujuan.
الأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا“ segala sesuatu
tergantung pada tujuannya”
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT :
!$tBur(#ÿrâÉDé&wÎ)(#rßç6÷èuÏ9©!$#tûüÅÁÎ=øèCã&s!tûïÏe$!$#uä!$xÿuZãmÇÎÈ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama yang lurus”.
Tujuan utama disyariatkan niat adalah untuk membedakan antara
perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat
ibadah satu sama lain.
Contoh :
Kita setiap hari mandi, namun apabila mandi
itu diniati ibadah maka kita akan mendapatkan pahala. Sama halnya mengeluarkan
harta untuk zakat apabila tidak dibarengi niat, maka nilai ibadahnya akan
berkurang atau bahkan tidak ada.
b)
Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan.
اَلْيَقِيْنُ لاَ يَزَالُ بِاشَكِ“yang sudah yakin tidak
dapat dihapuskan oleh keraguan”.
Dilihat dari sisi bahasa, yakin
secara sederhana merupakan ketetapan hati atas suatu kenyataan. Menurut Al
Ghazali yakin adalah kemantapan hati untuk membenarkan suatu objek hukum,
dimana hati juga mampu memastikan bahwa kemantapan itu adalah hal yang benar.
Adapun yang dimaksud yakin
dalam kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati pada satu objek hukum yang
telah dikerjakan, baik kadarnya telah mencapai pengetahuan mantap atau sekedar
persepsi kuat.
Adapun dasar kaidah ini, yaitu :
1.
Al Qur’an
Q.S Yunus: 36
$tBurßìÎ7GtóOèdçsYø.r&wÎ)$Zsß4¨bÎ)£`©à9$#wÓÍ_øóãz`ÏBÈd,ptø:$#$º«øx©4¨bÎ)©!$#7LìÎ=tæ$yJÎ/tbqè=yèøÿtÇÌÏÈ
Artinya :“Dan kebanyakan mereka tidak
mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak
sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka kerjakan”.
2.
Hadits
إذ
وجد أحدكم في بطنه شيئًا فأشكل عليه اخرج منه شيئا أم لا؟ فلا يخرجن من المسجد
حتى يسمع صوتا او يجد ريحا
“Apabila seseorang
diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, kemudian ragu apakah telah
keluar sesuatu darinya atau tidak, maka jaganlah keluar dari masjid sampai
mendengar suara atau mencium bau”.
Misalnya da dua orang yang mengadakan hutang
piutang, dan keduanya berselisih apakah hutangnya sudah dibayar atau belum,
sedang pemberi hutang bersumpah bahwa hutang itu belum dilunasi, maka sumpah
pemberi hutang itu akan dimenangkannya karena yang demikian itu yang yakin
menurut kaidah diatas. Dan hal itu dapat berubah jika yang hutang dapat
memberikan bukti-bukti baru atas pelunasan hutangnya.
c)
Kaidah yang berkenaan dengan kondisi yang menyulitkan.
المشقة تجلب التيسير“kesukaran itu
menimbulkan adanya kemudahan”.
As Suyuthi dalam karyanya Al Asybah
wa An nazha’ir mengomentari kaidah ini dalam karyanya dengan pernyataan
:”Kaidah ini adalah satu dari lima kaidah induk yang menjadi landasan acu
berbagai hukum konkrit dalam fiqih. Kelima kaidah tersebut diantaranya[1]:
a. Keyakinan tidak dapat digugurkan dengan
keraguan
b. Kesukaran mendatangkan kemudahan
c. Kemudharatan harus dihilangkan
d. Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum
e. Setiap perkara tergantung pada tujuanya
Kaidah ini menjadi sumber adanya rukhsah
(kemurahan) dan takhfif (keringanan) dalam melaksanakan tuntunan syariat yang
karenaa sebab atau keadaan tertentu sangat sulit untuk dilaksanakan, seperti :
karena sedang bepergian, sakit, terpaksa, kurang mampu, dan lain-lain.
Adapun
landasan dari kaidah ini, yaitu :
a. Al Qur’an
·
Surat Al Baqarah: 185
3ßÌãª!$#ãNà6Î/tó¡ãø9$#wurßÌããNà6Î/uô£ãèø9$#ÇÊÑÎÈ
“Allah
menghendaki terwujudnya kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan
bagi kalian”.
·
Surat Al Hajj: 78
$tBur@yèy_ö/ä3øn=tæÎûÈûïÏd9$#ô`ÏB8ltym4ÇÐÑÈ
“dan tidak menjadikan suatu kesempitan dalam urusan agama
pada kalian”
b. Hadits
·
Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
إنما
بعثكم ميسرّين و لم تبعثوا معسرين
“kalin diutus untuk
memberikan kemudahan bukan untuk menyulitkan”[2]
Dari akumulasi ayat dan hadits diatas, maka
tercetuslah sebuah kaidah المشقة تجلب التيسير yang oleh Ali Haidar dijelaskan bahwa
kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi penyebab adanya kemudahan dan
keringanan, yang pada intinya menekankan besarnya apresiasi syari’at pada
bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum.
d)
Kaidah yang berkenaan dengan kondisi yang membahayakan.
الضرر يزال“kemadhorotan itu harus
dihilangkan”
Kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar
(tidak menyakiti), baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak
semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[3]
Adapun
dasar dari kaidah ini, yaitu :
·
Al qur’an
Q.S An Nisa: 12
............4.`ÏBÏ÷èt/7p§Ï¹ur4Ó|»qã!$pkÍ5÷rr&Aûøïyuöxî9h!$ÒãB4Zp§Ï¹urz`ÏiB«!$#3ª!$#uríOÎ=tæÒOÎ=ymÇÊËÈ
“sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau
sesudahnya dibayar hutangnya olehnya dengan tidak memberi madlaratnya”.
Misalnya
seseorang dihutan tidak ada makanan sama sekali kecuali babi hutan dan apabila
ia tidak memakan babi hutan tersebut maka ia akan mati, maka babi hutan
tersebut boleh dimakan sebatas keperluannya.
Dapat
diperhatikan dalam segala kondisi, bahwa penerapan kaidah pada sejumlah kasus
yang telah tersebut diatas, selalu memperhatikan kaidah-kaidah sebagaimana :
1. Mudharat tidak dapat dihilangkan oleh mudharat
lainnya baaik yang bersifat umum maupun terbatas.
2. Mudharat yang bersifat terbatas harus
ditanggung demi mencegah mudharatnya yang bersifat umum.
3. Diambil mudharatnya yang lebih ringan diantara
dua mudharat.
4. Menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada
menaarik kemaslahatan.
5. Kebutuhan dapat menempati posisi darurat, baik
yang bersifat umum maupun khusus.
e)
Kaidah yang berkaitan dengan adat kebiasaan
العادة محكمة “adat kebiasaan dapat ditetapkan
sebagai hukum”
Ada perbedaan antara antara al adah dengan
‘urf. Adat (al adah) adalah perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh manusia
yang kebenarannya logis, tapi tidak semuanya menjadi hukum. Sedangkan ‘urf jika mengacu pada al ma’ruf berarti
kebiasaaan yang normatif dan semuannya dapat dijadikan hukum, karena tidak ada
yang bertentangan dengan al qur’an atau hadits.
Dasar hukum kaidah ‘adah yaitu :
Ø Al Qur’an
Éè{uqøÿyèø9$#óßDù&urÅ$óãèø9$$Î/óÚÌôãr&urÇ`tãúüÎ=Îg»pgø:$#ÇÊÒÒÈ
"jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh".
Misalnya, hukum syari’ah
menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak
ketentuan mahar itu, maka ketentuannya dikembalikan kepada kebiasaan.
C.
Perbedaan Al Qawaid al Fiqhiyyah dengan Al
Qawaid Ushuliyyah.
Menurut Ali al Nawawi, Imam Syihab al Din al
Qarafi merupakan ulama yang pertama kali membedakan antara kaidah ushuliyyah
dan kaidah fiqhiyyah. Al Qarafi menegaskan bahwa syariah yang agung diberikan
Allah kemuliaan dan ketiggian melalui ushul dan furu’. Adapun ushul dari
syariah tersebut ada dua macam. Pertama, ushul fiqih. Ushul fiqih memuat
kaidah-kaidah istinbath hukum yang diambil dari lafal-lafal berbahasa arab.
Diantara yang dirumuskan dari lafal bahasa arab itu kaidah tentang nasakh,
tarjih, kehendak lafal amar untuk wajib dan kehendak lafal nahi untuk
menunjukkan haram, dan sighat khusus untuk maksud umum. Kedua, al qawaid
fiqhiyyah yang bersifat kulli (umum).
Dalam penilaian Ibn Taimiyyah, ada perbedaan
mendasar antara Qawaid ushuliyyah dengan Qawaid fiqhiyyah. Qawaid ushuliyyah
membahas tentang dalil-dalil umum, sedangkan Qawaid fiqhiyyah merupakan
kaidah-kaidah yang membahas tentang hukum yang bersifat umum.
Adapun perbedaan pokok antar Al Qawaid al
Fiqhiyyah dan Al Qawaid Ushuliyyah, adalah sebagai berikut :
1) Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil hukum,
sedangkan qaidah fiqih adalah perbuatan mukallaf.
2) Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku bagi
seluruh juziyyah, sedangkan qaidah fiqih berlaku pada sebagian besar (aghlab)
juziyyah.
3) Qawaid ushuliyyah, sebagai sarana istinbath
hukum, sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk
memudahkan pemahaman fiqih.
4) Qawaid ushuliyyah bisa bersifat prediktif,
sedangkan qawaid fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’.
5) Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan
qawaid fiqih bersifat ukuran.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Al Qawaid al Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) secara etimologi adalah
dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan masalah-masalah atau
jenis-jenis fiqih. Sedangkan Al Qawaid al Fiqhiyyah secara terminologi adalah
kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi fiqih dan kemudian
digunakan pula untuk menentukan hukum dari kasus-kasus baru yang timbul, yang
tidak jelas hukumnya didalam nash.
Macam-macam Al Qawaid Fiqhiyah yaitu :
1) Kaidah yang berkaitan dengan fungsi tujuan
2) Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan
3) Kaidah yang berkenaan dengan kondisi yang
menyulitkan
4) Kaidah yang berkenaan dengan kondisi yang
membahayakan
5) Kaidah yang berkaitan dengan adat kebiasaan
Adapun perbedaan pokok antar Al Qawaid al
Fiqhiyyah dan Al Qawaid Ushuliyyah, adalah sebagai berikut :
1) Objek qawaid ushuliyyah adalah dalil hukum,
sedangkan qaidah fiqih adalah perbuatan mukallaf.
2) Ketentuan qawaid ushuliyyah berlaku bagi
seluruh juziyyah, sedangkan qaidah fiqih berlaku pada sebagian besar (aghlab)
juziyyah.
3) Qawaid ushuliyyah, sebagai sarana istinbath
hukum, sedangkan qawaid fiqih sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk
memudahkan pemahaman fiqih.
4) Qawaid ushuliyyah bisa bersifat prediktif,
sedangkan qawaid fiqih bersifat wujud setelah ketentuan furu’.
5) Qawaid ushuliyyah bersifat kebahasaan dan
qawaid fiqih bersifat ukuran.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washi. 2009. Qawaid Fiqhiyyah. Jakarta :
Amzah.
Nashr Farid, Muhammad Washil.2009. Qawaid Fikhiyah. Jakarta : Amzah.
Al izz bin Abdu Salam. Qawaid Al Ahkam. 2007. Jakarta : CV. Pustaka Setia.
Comments
Post a Comment