Waktu Dipersipangan Jalan Itu

Waktu Di Persimpangan Jalan Itu

Menunggu ataupun pergi adalah sebuah pilihan ketika cinta menemui persimpangannya. Lihatlah jalan itu, ia tak pernah lurus saja atau datar begitu saja, tapi perhatikan jalan selalu mempunyai kelokan, naik, turun, bergelombang, curam atau bahkan buntu tak ada pilihan. Dan begitupun dengan hidup dan cinta.
            Kau masih selalu menggenggamku setiap saat dimana kau pergi, meski jalan yang kau lewati berliku bahkan kadang begitu curam, namun entah mengapa tiba saat dimana kau melepas genggaman itu, genggaman yang awalnya aku mengira akan selamanya begitu. Kau lepaskan, dan kau pergi begitu saja bukan melewati jalan yang telah kita sepakati, tapi kau berbelok. Fikirku, kau akan kembali berbalik dan mengajakku pergi bersamamu, namun diam. Hanya diam yang tersisa.
            Kenyataan ternyata membawa kisah itu pergi, kisah yang penuh dengan kenangan, meninggalkan pemiliknya yang masih terpaku pada cinta yang tak berpihak kepadanya. Waktu benar-benar telah berbicara dan mungkin ini murkanya, meskipun belum sempurna menghapus bayangnya waktu akan tetap melaju dengan sadisnya, meninggalkan luka bagi seorang pesakitan cinta. Kau dan waktu bagaikan satu sisi mata uang, kalian sama. Kau dan waktu selalu melangkah lebih awal dariku, meninggalkan aku yang ternyata belum mampu melangkah dari titik permulaan kita, bahkan sampai saat ku dapati aku tak pernah melihat mu lagi di penghujung jalan itu, ya saat awal kau meninggalkanku. Dan kau tau?, ketika aku mulai melangkah, meninggalkan titik dimana kau meninggalkanku, entah mengapa bayanganmu semakin dekat namun sejatinya kau semakin jauh bahkan untuk sekedar dirasakan apalagi untuk di genggam.
            Waktu benar-benar bertindak kejam, aku berfikir menunggu dan bertahan adalah sebuah kebenaran yang aku ciptakan tetapi ternyata kali ini aku benar-benar harus mengakui kesalahan ku lagi dan menelan ludah yang teramat pahit, entah untuk keberapa kalinya, akupun sudah lupa.
            Aku semakin tertarik dengan waktu meski ia tak pernah mengenal kata kompromi, kian hari aku semakin ingin tahu apakah waktu dapat membawamu kembali atau waktu membawamu pergi semakin jauh. Dan saat itulah, aku mulai enggan beranjak, aku terus terpaku menunggu dan menunggu di penghujung jalan itu dan dipersimpangan jalan itu, karena disanalah aku dapat melihatmu kembali. Namun, hampa, ya hanya hampa yang akhirnya ku tahu. Dan aku pun menyimpulkan bahwa waktu telah membawamu pergi jauh dan mungkin benar-benar jauh. Lagi-lagi aku harus mengakui kekalahan ku dan ego ku untuk terus mempertahankanmu disini, dihati. Entah engkau yang enggan kembali atau waktu yang menghalangi mu untuk kembali. Aku berfikir keras, bagaimana kau bisa kembali, meski hanya mengucapkan sapa lalu pergi.
            Waktu memaksaku untuk benar-benar menyerah kali ini, bukan perkara mudah atau sulit. Tapi waktu mengajariku, bahwa hidup tetap harus berjalan ada maupun tanpamu. Karena hidup akan sangat sia-sia jika harus ku habiskan untuk terus mengenang dan mengenang tanpa henti. Aku berhenti. Ya, aku memutuskan untuk berhenti. Meski lelah yang ku rasa tidak sama sekali mengurangi rasa ku padamu. Namun aku tetap harus berhenti.
            Pertemuan ada karena perpisahan atau mungkin sebaliknya, entah mana yang menjadi sebab dan mana yang menjadi akibat. Namun yang pasti pertemuan selalu berkaitan dengan perpisahan. Dan waktulah yang menentukan kapan tiba pertemuan dan kapan tiba perpisahan, dan tentunya Tuhanlah yang menyusun sekenario ini untuk kita.
            Sebagaimana aku dan kamu tahu, setiap apa yang kita lakukan akan membentuk sebuah kisah, yang kisah tersebut akan menjadi kenanagan dalam lubuk hati kita masing-masing ketika kisah itu telah berlalu. Dan kala itu secara tak sengaja kita telah menciptakan kenanagan  melalui kisah yang mungkin terhitung singkat. Dan kini kau berjalan di jalanmu dan aku pun berjalan di jalan ku. Pada nyatanya kita berjalan di jalur kita masing-masing, tanpa sepatah kata dan ucapan perpisahan. Entah, ini permainan seperti apa, saling mengingkari setiap detak dan mendustai harapan yang masih tersisa.
            Yang ku tau kini, hanya aku dengan hidup ku dan engkau dengan hidup mu. Namun tak jarang waktu yang telah kita sisakan kini mengingatkan ku akan dirimu, di sela-sela impian yang mulai menghilang. “ahhh...!”, aku hanya mampu menghembuskan nafas dalam-dalam. Lagi-lagi aku harus berhadapan dengan waktu.
            Kala itu aku berfikir, mungkin aku akan tetap bertahan disini menunggumu meski entah sampai kapan. Namun semua orang pun tahu, kereta tak mungkin berhenti di terminal bus, ya itu mustahil. Kesadaran demi kesadaran aku temukan, tentunya dengan waktu. Namun waktu sampai detik ini pun belum bisa menghapusmu sepenuhnya, masih tersisa puing-puing kisah dari potongan puzzle cerita kita kala itu. Aku tak ingin mengusiknya, aku hanya akan membiarkannya, jika ingin berlalu begitu saja biarlah berlalu, namun jika ingin tetap tersisa dan bertahan, biarlah. Aku tak pernah keberatan, karena luka tetaplah luka, untuk mendapat bahagia pun tak harus menghapus luka lama terlebih dahulu. Karena bagaimanapun waktu tak akan pernah berhenti berlari, waktu memang mampu menghapus, namun kadang tak sampai bersih dan masih tersisa.
            Menghapusmu bukan perkara yang mudah, aku benar-benar harus mengikhlaskan. Sedang ikhlas itu bagiku masih teramat sulit. Kadang keluhan yang tersisa di sela-sela tarikan nafas yang semakin sesak, namun fikiran ku selalu berkata tak akan ada guna karena dia tidak akan pernah kembali, bahkan tanpa tersentuh. Di penghujung hari aku kembali merindu pada sesosok sepertimu yang belum ku temui lagi sampai tahun ini. Tapi tak apa, aku nikmati sisa rindu ini dengan segelas kopi yang membuatnya semakin hangat. “Tidak ada salahnya merindukanmu”, fikirku.
            Ketika mulai menghapus aku berfikir aku membutuhkan coretan baru untuk mengisi kekosongan ku, namun ternyata tidak. Aku tidak memerlukan coretan baru untuk bisa menghapusmu dari kertas putih di hatiku. Aku hanya tak ingin menggantinya, dan tentunya menambah luka. Cukup coretanmu saja yang pernah mengisi, tak ku biarkan coretan lain mengisi ketika itu belum saatnya.
            23 November 2011
            Eiffel, tak ingatkah kau tempat itu?. Dengan sejuta keindahan dan impian disana, dimana beberapa tahun yang lalu kita pernah membuat sebuah janji ditemani indahnya kota paris di pagi hari. Disana, ya diatas sana kau bisikkan kata yang tak mungkin dapat aku lupakan untuk waktu yang lama, bahkan sampai saat ini tiga tahun berlalu. Namun sudahlah, toh waktu tetap berlari bukan? Dan tak akan mungkin pernah kembali. Meski hanya menyisakan kenangan yang bahkan begitu perih, setidaknya kita dulu pernah ada disana, diantara puing-puing indah masa lalu.
            Pernahkah kau mendengar, mengapa secangkir kopi akan terasa nikmat apabila di minum pada saat masih panas?, karena pada saat panas aroma dari rasa kopi tersebut masih sangat terasa kuat dan melekat dan tentunya menambah nikmat bagi seseorang yang meminumnya disaat itu. Dan kopi yang nikmat bagiku adalah kopi yang menyisakan ampas sehabis di minum. Aku menganggapnya sepesial, karena aku mengibaratkannya sebagai sebuah kenangan akan sebuah kisah. Ya, air kopi yang telah ku teguk tadi adalah kisah dan ampas kopi yang tersisa itulah kenangan. Kopi yang berampas bagi ku selalu spesial, terlebih dulu kita pernah meminumnya bersama.
“Aku tidak akan meninggalkanmu, apa kau percaya padaku?”. Kata mu memecah kesunyian.
“Tentu”
            Harusnya kau tau apa itu kepercayaan, dan harusnya kau menghargai sebuah kepercayaan yang telah aku berikan dengan Cuma-Cuma ini, namun sayang semua kepercayaan ini serasa tidak ada arti dan gunanya. Kau dulu yang mengajariku untuk selalu mengatakan kejujuran dan menanamkan sebuah kepercayaan namun entahlah mungkin kau telah melupakan perkataanmu sendiri.
            Jalan yang pernah kita lewati bersama waktu itu, sampai saat inipun tak pernah berubah. Ia masih seperti dulu disaat kau memutuskan memilih jalanmu sendiri. Sedikit sesak jika tanpa sengaja ku lewati jalan itu, masih ada guratan potretmu disana, berdiri, berjalan tersenyum menghampiriku hinga saat terakhir kau melangkah pergi. Selalu ku coba menepis, tak ku anggap kau ada dahulu maupun saat ini, tapi semua serasa percuma karena kau selalu hadir bak simfoni dimasa sekarang dan di masa lalu. Lalu bagaimana aku mampu menghapusmu?.  
02 Januari 2012
            Waktu bernar-benar tak kenal kompromi, kali ini ia menyeretku begitu jauh. Namun entah mengapa waktu tak pernah bisa menyeretmu dari sini, hingga aku merasa lelah dengan semua keadaan yang tak ku mengerti. Kau tahu? Aku tak membutukan waktu lama untuk memunculkanmu dalam potret kenangan usang itu, namun terlalu sulit bagiku untuk menghapusmu dari potret itu. entah mengapa kau begitu keras, atau mungkin tuli hingga kau tak menyadari kau begitu mengganggu dunia nyataku. Kau hanya bayang, aku tak mampu merabamu hanya melihatmu menerawang, ya, kau hanya fatamorgana karena nyatamu entah berana dimana.
            Setiap tahun berganti, di bawah sinar rembulan dalam kesendirian kusampaikan seutas harapan pada sang maha cinta. Agar dirimu enyah selamanya. Namun nyatanya Tuhan memiliki rencana lain, kau tetap disimpannya di sini tepat didepanku, karena kau selalu lebih awal dariku. Entah mengapa begitu, hanya yang ku tahu selepas pertemuan waktu itu hanyalah bisu yang tersisa.
            Tak ku sesalkan pertemuan kita, tak ku sesalkan pula kala aku yang naif ini menerima mu sebagai sesuatu yang berharga dihati. Ah, padahal harusnya aku menyadari kau hanya orang asing yang mampir dalam hidupku, bagaimanapun keadaan dan posisimu kau tetaplah orang asing, namun sayangnya kau begitu cepat mengambil alih alur kehidupanku. Membuatnya indah bagaikan surga sekaligus mencekam bagaikan neraka. Kau yang hanya asing kini benar-benar menjadi asing, memang benar harusnya begitu dan seperti itu harusnya. Aku hanya menyesali mengapa aku tak sempat bertanya bagaimana cara melupakan.         Melupakan, kini menjadi masalah yang teramat rumit terlebih di januari ini. Januari selalu indah bagiku karena disana, aku dan kamu pernah menjadi kita. Namun kini januari bagaikan ancaman mimpi buruk bagiku. Betapa tidak, bahkan ingatanku masih begitu kuat, “Ah,, andai aku lupa ingatan, mugkin akan lebih baik!”. Tapi tidak, nyatanya aku tak pernah lupa ingatan untuk secuil kisah yang pernah terlewati, menyentuh hati nurani membuatnya terisak sesal dan menorehkan perih yang tiada berperi. Kejam tanpa basa-basi itulah ingatan. Lalu bagaimana aku mampu melupakan?, jika justeru ingatan itu semakin kuat ketika lupa ingin ku hampiri. “Apa kau rasa yang sama?”, tanyaku disela-sela keputus asaanku.
            Pernah ku dengar kau telah bahagia disela-sela aku yang masih terus mengharapkan kembalimu. Bersama dia, kini kau bersama dia perempuan yang lebih muda dariku. Entahlah, aku hanya bisa terdiam dan membisu. Mendapat kabar darimu saja tidak, lalu kini sekali ku dapati kau benar-benar telah melupakanku. Kau tahu, apa yang kurasa kini? Tidak, kau tak akan pernah tau. Biarlah, aku hanya membutuhkan waktu, waktu untuk mengingkari bahwa ku tak lagi mengharapmu. Namun, mampukah? Tak pernah ku yakin itu, namun sekali lagi aku memang telah berhenti, bahkan sejak lama sejak beberapa tahun kau tinggalkanku. Biarlah bahagia menghampirimu, entah bersamaku atau bersama takdirmu yang lain. biarlah aku melebur, sehingga tak terlihat lagi dikelopak matamu, sehingga bersama leburnya diriku ku mampu meleburkan pula dirimu dan kenangan itu. “Mampukah aku?”.
“Sudahlah nak, lelaki di luaran sana masih banyak. Jangan menyiksa diri untuk satu lelaki yang tak pernah mempunyai kejelasan. Terlebih dia telah menemukan pendamping yang baru. Apa yang kau harapkan dari lelaki sepertinya nak?”, masih terekam jelas ketika ayah menasehatiku dengan sabar. “Aku belum bisa melupakannya yah, aku belum menemukan lelaki yang lebih baik darinya” terangku. Tersenyum simpul, ayah hanya melakukan itu ketika mendengar ucapanku “ Belum nak, tapi suatu saat kamu pasti menemukan lelaki yang lebih baik. Kejar cita-citamu dulu, pebaiki diri. Maka cinta yang berkualitas akan datang dengan sendirinya padamu. Kau harus percaya itu, Allah tak pernah mengingkari janjinya, bahwa perempuan yg baik akan mendapatkan lelaki yang baik pula”. Aku sangat mengingat kata-kata itu sampai detik ini, bahkan aku begitu menyesali mengapa aku terlalu mencintaimu. “Ah..”. Namun, bagaimana dengan hati, hati tak pernah bisa di pungkiri apalagi nurani. Aku masih tetap mengharapkanmu sampai detik ini. Bahkan ketika aku memutuskan untuk berhenti berharap padamu.
            Ah, cinta. Siapa yang dapat menghindarinya. Perkenalan yang entah tak teraba oleh waktu dan menyisakan luka seperti ini. Aku pun tak menginginkannya, bahkan aku tak mau merasakannya. Yang ku tahu awalnya semua begitu indah, bersama dengan janji-janji yang menyertainya. Namun benar-benar tak di sangka semua kini seperti mimpi buruk, ingin bangun namun tak bisa, entahlah, ini benar-benar menyakitkan.
            Dikatakan atau tidak, itu tetap cinta bukan. Sekuat apapun mengingkari tetap saja itu cinta. Ada ataupun tidaknya kamu disini, ini tetap cinta bukan. Meskipun aku memutuskan untuk berhenti, tetap saja ini cinta. Mungkin aku memang telah terlelap dalam tidur panjangku, tentang angan dan mimpi yang dulu sempat kita rajut bersama. Meski nyatanya kini kau memilih pergi dengan jalanmu dan menemukan takdirmu bersama dia. Namun entah mengapa, tak juga ku bisa hetikan rasa, padahal aku tau ini begitu menyakitkan, harapku tetap sama, kau kembali dan menyadari aku yang terbaik. Ah, sekali lagi itu mungkin hanya mimpi belaka.
            Disana atau ditempatku sekarang kita tetap masih berada di bawah langit yang sama hanya takdir kitalah yang berbeda. Karena waktu membawa aku dan kamu pada tujuan yang berbeda, namun bukan tidak mungkin waktu akan mempertemukan kita lagi, itu masih misteri dan benar aku tak lagi berharap.
            Berhenti mengharapkanmu atau menunggu, itupun sama. Raga ini memang telah berenti, namun tetap saja hati dan fikiran ini tak pernah mau berhenti, meski hanya satu detik saja. Itulah mengapa bagiku kini berhenti mengharapkanmu atau tetap menunggumu sama. Pun nyatanya kau telah meninggalkanku di persimpangan jalan itu, dan aku merasakan sakitnya namun entah mengapa aku tak pernah bisa meninggalkan kenangan tentangmu. Bagiku, semuanya telah berlalu kau dan kisah itu, namun tetap saja kenangan itu masih tersisa, namun benar aku tak pernah ingin mengusiknya dari ingatanku jika memang menghilang biarlah waktu yang menghapus bukan aku yang memaksa, karena bagaimanapun semakin dipaksakan akan semakin sakit terasa. Dan yang ku tahu kini, aku sudah dapat berdiri tegak dan berjalan dengan jalanku sendiri tanpamu.
            Pada nyatanya beberapa tahun berlalu, kita pun tak sempat mengucapkan selamat tinggal, dan pada nyatanya pula kita tak pernah ingin mengucapkan selamat tinggal. Cukup seperti ini saja jangan pernah ucapkan selamat tinggal. Biarlah kini kita berjalan sendiri-sendiri, aku berjalan dengan jalan hidupku dan begitupun denganmu. Pun jika pada akhirnya kita kembali bertemu dipersimpangan jalan itu, biarlah kehendak Tuhan yang bernama takdir yang menentukan, bukan kehendak kita.
            Dan pada akhirnya persimpangan jalan itu akan menjadi saksi, akankah kita kembali bertemu atau tidak sama sekali. Akankah kuncup bunga kembali mekar ataukah layu dan mati. Ya, di persimpangan jalan itu, persimpangan yang mempertemukan dan memisahkan.

THE END

Comments

Popular posts from this blog

Isti'arah Ashliyyah dan Isti'arah Taba'iyyah

Ilmu Ma'ani dan Ruang Lingkupnya

'Adad Tartibi